Mengulik Tradisi Muludan (Mauludan) Masyarakat Jawa

 


Masyarakat Jawa, terkenal dengan tradisi-tradisinya yang tak jarang unik dan menggugah ketertarikan warga dunia untuk mengkajinya lebih lanjut. Dikenal sebagai Masyarakat yang ramah, meski warganya terbilang masih terbelakang karena tinggal di pelosok negeri, juga membuat Masyarakat Jawa mudah dikenal oleh warga Dunia. 



Beberapa tradisi yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Jawa, khususnya warga perdesaan, masih menganut unsur jawa mistis yang dibumbui keyakinan-keyakinan Masyarakat tersebut akan hal-hal tak kasat mata. Namun, lebih banyak lagi tradisi yang telah dirasuki oleh jiwa-jiwa keislaman yang hari ini masih eksis dan berkembang di tengah-tengah arus zaman. 



Salah satu Tradisi masyarakat Jawa yang telah dijiwai oleh unsur-unsur keislaman, dan hari ini masih ramai dilaksanakan adalah budaya Muludan (Mauludan). Tradisi ini dilakukan oleh Masyarakat Jawa pada bulan Maulud, guna memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini juga terbilang tradisi yang sudah dilakukan sejak dahulu, bahkan bisa dibilang termasuk tradisi yang sudah tua namun masih tetap dilestarikan di tengah-tengah kemajuan Zaman dan Teknologi. 



Kata Maulud, berasal dari Fi'il Madli 'Walada - yalidu - wīladun - wa Maulidun - fahuwa - walidun - wa dzaka - Mauludun' yang merupakan Isim Maf'ul bermakna 'Kang dilahirake' atau 'Yang Dilahirkan'. Imbuhan -an di akhir kalimat merupakan kebiasaan Masyarakat Jawa dalam membuat sebutan, guna mempermudah penyebutan, dan uniknya sebutan-sebutan sejenis ini dibuat oleh para Ulama' tempo dulu saat menyiarkan Agama Islam di tanah Jawa.



Membahas tentang Muludan, tradisi ini juga memiliki banyak keunikan dalam proses pelaksanaannya di tiap daerah. Seperti di Jawa, masyarakat perdesaan jawa dalam melaksanakan tradisi memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW biasanya melakukan pengajian besar-besaran selama sehari penuh yang dilaksanakan oleh seluruh daerah di hari-hari yang berbeda selama satu bulan. 



Pengajian tersebut tentunya mengundang seorang pembicara hebat yang biasa dikenal dejgan sebutan 'Kyai' atau 'Nyai' untuk mengisi acara inti. Pembahasan dari tiap-tiap pembicara tentunya berbeda-beda, meski masih satu inti yakni mengkaji Rasulullah. Dalam pengajian juga dikenal dengan adanya 'takir' yang masyarakat jawa memberi makna filosofis pada kalimat tersebut dengan istilah 'nata pikir' atau dalam bahasa Indonesia berarti menata pikiran. Takir ini adalah sebutan untuk makanan yang dibungkus dalam suatu wadah untuk dibagi-bagikan pada para pengunjung. 



Betapa dermawannya masyarakat Jawa, hingga daerah tersebut mendapat julukan "Dwipa" atau yang bisa kita artikan sebagai daerah dengan kesuburan tingkat tinggi. Tradisi inilah yang menjadi pemersatu masyarakat antar daerah di Jawa untuk saling bersilaturrahim dan merayakan peringatan Maulud. 

Oleh: Soleha Luluk Budi Astuti

Posting Komentar

1 Komentar

StNk mengatakan…
Banyak juga yang membaca al barzanji selama bulan maulid